Selasa, 16 Juni 2015

Ushul Al-Islam (Bagian 3)



4.       Qiyas

Qiyas secara bahasa artinya mengukur, menyamakan dan menghimpun atau analogi.

Qiyas didefinisikan sebagai:
“Memberlakukan hukum asal, kepada hukum furu’(cabang) disebabkan kesamaan ‘illat yang tidak dapat dicapai dengan pendekatan bahasa saja.”

Atau
“Membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, ata meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan adanya sesuatu yang menyatukan keduanya.”

Atau
“Menghubungkan hukum suatu pekerjaan kepada pekerjaan lain karena keduanya bersatu pada sebab yang menyebabkan bersatunya hukum.”

Atau
“Upaya menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nash/dalilnya, kepada sesuatu yang ada dalilnya karena ada persamaan ‘illat.”

Berikut adalah contoh Qiyas yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
“Telah datang seorang wanita kepada Rasul Allah  SAW yang bernama Khutsa’miah lalu bertanya, ’Ya Rasul Allah, Ayah saya seharusnya telah melaksanakan haji, akan tetapi dia tidak kuat duduk diatas kendaraan karena sakit. Apakah saya harus melaksanakan Haji untuknya?’ Jawab Rasulullah,’bagaimana pendapatmu jika ayahmu punya hutang? Apakah engkau harus membayarnya juga?’ Wanita itu menjawab,’ya.’ Maka jawab Rasul Allah,’hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar’.”

Adapun dalil dalil diterimanya Qiyas adalah kalimat fa’tabiruu yaa ulil abshar(ambilah pelajaran wahai orang yang mempunyai pandangan) pada Al Qur’an Surat Al Hasyr ayat 2. Di sini Allah memerintahkan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa pengusiran Bani Nadhir. Mengambil pelajaran artinya memperbandingkan suatu peristiwa dengan peristiwa lain untuk diambil manfaatnya. 

Atau hadits Rasulullah ketika mengutus Muadz bin Jabal sebagai Qadhi.

Namun demikian, Qiyas adalah salah satu metode ijtihad. Karenanya, kehujjahannya tidak sekuat tiga prinsip yang lain.  Ada prinsip-prinsip yang harus dipenuhi sehingga Qiyas mendapat kehujjahan yang cukup kuat.

1.       Al Ashl. (Hukum Pokok)
Ialah sebuah peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan dalil. Al Ashl disebut juga musyabbah bihi (tempat menyerupakan) atau maqis ‘alaihi(yang menjadi ukuran). 

Atau menurut para ahli Ushul Fiqh, yang dimaksud Al Ashl itu adalah nash/dalil yang menentukan hukum. Karena nash inilah yang nantinya akan menentukan hukum suatu peristiwa. Misalkan tentang peristiwa haramnya narkoba, maka Al Ashl-nya adalah Al Quran Surat Al Maaidah ayat 90-91.

2.       Al Far’u(Hukum Cabang)
Ialah suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya, karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar. Misalkan hukum narkoba.

Adapun apabila peristiwa cabang itu, sudah ada nash yang menjelaskannya, maka tidak dapat diambil Qiyas.

Contoh adalah tentang pernikahan antara seorang lelaki muslim, dengan wanita dari Ahli Kitab (Yahudi/Kristen)

Hal ini tidak dapat ditarik Qiyas walaupun Al Ashl-nya adalah firman Allah:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al Baqarah 221)

Akan tetapi yang menjadi Al Far’u sudah ditetapkan dalam nash
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS Al Maaidah; 5)

Jelas, walaupun hukum asalnya adalah haram menikahi wanita musyrik, maka seharusnya haram juga hukumnya menikahi wanita Kristen. Akan tetapi hal dalam hal ini tidak demikian, karena telah jelas hukum menikahi wanita Ahli Kitab dihalalkan dalam Al Quran surah Al Maidah tersebut.

Namun kehalalan ini tidak berlaku bagi seorang muslimah yang menikahi lelaki dari Ahli Kitab. Karena dalam Al Maaidah ayat 5 tersebut tidak disebutkan penghalalannya. Maka hukum seorang muslimah menikahi lelaki Kristen adalah sesuai dengan hukum pokoknya, yaitu Al Baqarah 221.

3.       Hukum Al Ashl
Ialah hukum dari Al Ashl yang telah ditetapkanberdasarkan Nash. Dan hukum itu jugalah yang ditetapkan pada masalah Furu’. Seandainya ada persamaan ‘illatnya.

4.       Illat
Ialah suatu sifat yang menjadi sebab hukum pada Al Ashl dan sifat itu juga yang dicari pada pada Furu’. Seandainya sifat itu diketemukan pada cabang, maka dapatlah ditetapkan hukum pada cabang itu sama dengan hukum pada Al Ashl.

Menurut Asy Syatibi: Illat itu adalah mashlahat atau mafsadat yang diperhatikan syara’ dalam menyuruh suatu pekerjaan atau mencegahnya. 

Sedangkan menurut Al Ghazaly adalah sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, tetapi atas perbuatan Syar’i.

Misalnya tentang keharaman menikahi orang-orang musyrik, adalah karena “Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”. (Qs Al Baqarah 221)

Inilah yang menjadi Illat haramnya pernikahan berbeda agama. 

Karenanya Al Maaidah ayat 5 tidak berlaku bagi seorang Muslimah yang menikahi laki-laki Ahli Kitab. Dalam hal ini Al Maaidah ayat 5 tidak dapat dijadikan Illat bagi pernikahan Muslimah dengan lelaki Ahli Kitab kerena tidak dapat dipersamakan antara pernikahan seorang lelaki dan pernikahan seorang wanita.
Illat Al Baqarah 221 lebih kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar