4.
Qiyas
Qiyas secara bahasa artinya mengukur, menyamakan dan
menghimpun atau analogi.
Qiyas didefinisikan sebagai:
“Memberlakukan hukum asal, kepada hukum furu’(cabang) disebabkan
kesamaan ‘illat yang tidak dapat dicapai dengan pendekatan bahasa saja.”
Atau
“Membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang
diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, ata meniadakan hukum
bagi keduanya, disebabkan adanya sesuatu yang menyatukan keduanya.”
Atau
“Menghubungkan hukum suatu pekerjaan kepada pekerjaan lain
karena keduanya bersatu pada sebab yang menyebabkan bersatunya hukum.”
Atau
“Upaya menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada
nash/dalilnya, kepada sesuatu yang ada dalilnya karena ada persamaan ‘illat.”
Berikut adalah contoh Qiyas yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW.
“Telah datang seorang wanita kepada Rasul Allah SAW yang bernama Khutsa’miah lalu bertanya,
’Ya Rasul Allah, Ayah saya seharusnya telah melaksanakan haji, akan tetapi dia
tidak kuat duduk diatas kendaraan karena sakit. Apakah saya harus melaksanakan
Haji untuknya?’ Jawab Rasulullah,’bagaimana pendapatmu jika ayahmu punya
hutang? Apakah engkau harus membayarnya juga?’ Wanita itu menjawab,’ya.’ Maka
jawab Rasul Allah,’hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar’.”
Adapun dalil dalil diterimanya Qiyas adalah kalimat
fa’tabiruu yaa ulil abshar(ambilah pelajaran wahai orang yang mempunyai
pandangan) pada Al Qur’an Surat Al Hasyr ayat 2. Di sini Allah memerintahkan
untuk mengambil pelajaran dari peristiwa pengusiran Bani Nadhir. Mengambil
pelajaran artinya memperbandingkan suatu peristiwa dengan peristiwa lain untuk
diambil manfaatnya.
Atau hadits Rasulullah ketika mengutus Muadz bin Jabal
sebagai Qadhi.
Namun demikian, Qiyas adalah salah satu metode ijtihad.
Karenanya, kehujjahannya tidak sekuat tiga prinsip yang lain. Ada prinsip-prinsip yang harus dipenuhi
sehingga Qiyas mendapat kehujjahan yang cukup kuat.
1.
Al Ashl. (Hukum Pokok)
Ialah sebuah peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan dalil. Al Ashl disebut juga musyabbah bihi (tempat menyerupakan)
atau maqis ‘alaihi(yang menjadi ukuran).
Atau menurut para ahli Ushul Fiqh, yang dimaksud Al Ashl itu
adalah nash/dalil yang menentukan hukum. Karena nash inilah yang nantinya akan
menentukan hukum suatu peristiwa. Misalkan tentang peristiwa haramnya narkoba,
maka Al Ashl-nya adalah Al Quran Surat Al Maaidah ayat 90-91.
2.
Al Far’u(Hukum Cabang)
Ialah suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya, karena
tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar. Misalkan hukum narkoba.
Adapun apabila peristiwa cabang itu, sudah ada nash yang menjelaskannya, maka tidak dapat diambil Qiyas.
Contoh adalah tentang pernikahan antara seorang lelaki muslim,
dengan wanita dari Ahli Kitab (Yahudi/Kristen)
Hal ini tidak dapat ditarik Qiyas walaupun Al Ashl-nya
adalah firman Allah:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS
Al Baqarah 221)
Akan tetapi yang menjadi Al Far’u sudah
ditetapkan dalam nash
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.” (QS Al Maaidah; 5)
Jelas, walaupun hukum asalnya adalah haram
menikahi wanita musyrik, maka seharusnya haram juga hukumnya menikahi wanita
Kristen. Akan tetapi hal dalam hal ini tidak demikian, karena telah jelas hukum
menikahi wanita Ahli Kitab dihalalkan dalam Al Quran surah Al Maidah tersebut.
Namun kehalalan ini tidak berlaku bagi
seorang muslimah yang menikahi lelaki dari Ahli Kitab. Karena dalam Al Maaidah
ayat 5 tersebut tidak disebutkan penghalalannya. Maka hukum seorang muslimah
menikahi lelaki Kristen adalah sesuai dengan hukum pokoknya, yaitu Al Baqarah
221.
3.
Hukum Al Ashl
Ialah hukum dari Al Ashl yang telah
ditetapkanberdasarkan Nash. Dan hukum itu jugalah yang ditetapkan pada masalah
Furu’. Seandainya ada persamaan ‘illatnya.
4.
Illat
Ialah suatu sifat yang menjadi sebab hukum pada Al Ashl dan
sifat itu juga yang dicari pada pada Furu’. Seandainya sifat itu diketemukan
pada cabang, maka dapatlah ditetapkan hukum pada cabang itu sama dengan hukum
pada Al Ashl.
Menurut Asy Syatibi: Illat itu adalah mashlahat atau
mafsadat yang diperhatikan syara’ dalam menyuruh suatu pekerjaan atau
mencegahnya.
Sedangkan menurut Al Ghazaly adalah sifat yang berpengaruh
terhadap hukum, bukan karena zatnya, tetapi atas perbuatan Syar’i.
Misalnya tentang keharaman menikahi orang-orang musyrik,
adalah karena “Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”.
(Qs Al Baqarah 221)
Inilah yang menjadi Illat haramnya pernikahan
berbeda agama.
Karenanya Al Maaidah ayat 5 tidak berlaku
bagi seorang Muslimah yang menikahi laki-laki Ahli Kitab. Dalam hal ini Al
Maaidah ayat 5 tidak dapat dijadikan Illat bagi pernikahan Muslimah dengan
lelaki Ahli Kitab kerena tidak dapat dipersamakan antara pernikahan seorang
lelaki dan pernikahan seorang wanita.
Illat Al Baqarah 221 lebih kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar