3. Ijma
Prinsip Islam yang ketiga adalah Ijma.
Ijma artinya adalah kesepakatan atau
kesependapatan dalam satu hal. Dalam hal ini adalah kesepakatan otoritas
mayoritas ulama.
Jadi, dalam Ushul Fiqh, Ijma adalah
kesepakatan seluruh mutjahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah
Rasul Allah wafat, atas hukum syara’ terhadap suatu masalah tertentu.
Ijma menjadi suatu landasan dalam prinsip
Islam yang ketiga adalah karena firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” Qs An Nisa 59.
Kalimat Ulil Amri di sana menunjukkan kepada orang-orang
yang mengerti terhadap suatu urusan tertentu. Sedangkan Ulil Amri dalam
bidang keagamaan adalah Ulama dan Ahli
Fatwa.
Dasar lain diterimanya Ijma dalam Prinsip hukum Islam adalah
Hadits Rasul:
“Ummatku tak akan bersepakat dalam kesalahan.”
Jenis-jenis Ijma’
Berdasarkan cara sosialisasinya.
Jenis Ijma berdasarkan cara sosialisasinya ada dua.
1.
Ijma Bayani/Ijma Qauli/Ijma Qath’i
Ijma Bayani adalah dimana semua mutjahid menyatakan
pendapatnya/persetujuannya. Baik secara lisan maupun secara tertulis. Terhadap
pendapat mujtahid lain. Ijma semacam ini tidak mensyaratkan bahwa mereka
berkumpul semacam di lembaga Fatwa.
Ijma ini dapat juga kita dapatkan dengan cara mengkomparasi
kitab-kitab yang telah ditulis oleh para Ulama yang benar-benar diakui oleh
dunia Islam.
Ijma ini disebut juga Ijma Qath’i atau Ijma Sharih karena
hukumnya dapat dipastikan dan tak ada jalan untuk memutuskan hukum yang
berlainan dalam kasus yang bersangkutan. Serta tak ada peluang Ijtihad dalam
kasus tersebut, setelah terjadinya Ijma yang Sharih
2.
Ijma Zhani/Ijma Sukuti
Ijma dimana para Mujtahid dalam memberikan persetujuannya
tidak dengan memberikan pendapat baik menerima atau menentangnya, melainkan
diam. Dimana sikap diam ini diambil bukan karena takut, malu atau tak enak
hati.
Karenanya, Ijma ini hukumnya ‘diduga kuat’, maksudnya masih terdapat
peluang untuk melakukan Ijtihad pada kasus yang berkaitan..
Selain itu Ijma ini oleh mayoritas Ulama tidak dapat
dijadikan hujjah. Kecuali oleh Ulama Mahzab Hanafi dengan catatat bahwa
Mujtahid yang diam itu telah dihadapakan kasusnya, telah dikemukakan kepadanya pendapat
mutjahid yang menentapkan kasus itu, dan dia memiliki waktu untuk menelitinya,
tetapi ia tetap diam.
Menurut Siapa yang Berijma
1.
Ijma Khulafaur-Rasyidiin
Ialah Ijma Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali rah.
Ijma ini mendapat legitimasi dari Nabi saw dengan hadist
sbb:
“Berpegang-eratlah kamu dengan sunnahku dan sunnah
Khulafaur-Rasyiidin sesudahku.”
Salah satu contoh Ijma ini adalah tentang pembukuan Al
Quran.
2.
Ijma Shahabat
Ialah kesepakatan para Ulama Shahabat
3.
Ijma Ahli Madinah
4.
Ijma Ahli Kufah
5.
Dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar