Minggu, 19 April 2015

Aksiologi Islam



Pendekatan Islam secara epistemology, bukanlah satu-satunya pendekatan dalam memahami Islam. Pendekatan ini hanya dalam tataran syariat yang hanya sanggup menguliti Islam saja. Akibatnya dengan menggunakan tools yang sama, tetap timbul aliran-aliran(mahzab) yang berbeda-beda.
Tetapi karena sifat Islam yang syamil dan mutakamil (lengkap dan sempurna) ada cara pendekatan lain yang mengarah kepada tujuan-tujuan yang sama. Walapun berbeda, hanya berbeda pada permukaannya. Pendekatan ini bukanlah pendekatan akal (ra’y)  dengan peraturannya yang sangat ketat. Tetapi pendekatan dengan hati.
Dasar pendekatan ini adalah sebuah hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ad-Darimi yaitu:
“Istafti qalbaka, al-Bir maa thma’anna ilaihi n-Nafs wa thma’anna ilaihi l-Qalb. Waa l–ism maa haaka fii n-Nafs wa taraddad fii Shuduur.”
“Tanyalah hatimu. Kebaikan adalah apa yang dengannya menjadi tenang nafsu dan hatimu. Dan dosa adalah apa yang membuat gelisah nafsu dan dadamu.”
 Ya! Feel the experience! Rasakan, jangan pikirkan. Biarkan hatimu bicara, maka ia akan menuntunmu kepada kebenaran.
Tetapi hati-hatilah. Pada area itu, yang di namakan Shadr, ada sebuah lagi yang akan mengajak engkau kepada kejahatan. Ialah Nafs. Al-Hawaa.
“Wa-Nafsin wa maa sawwaahaa. Fa alhaamaha fujuura ha wa taqwa ha. Qad aflaha man dzakkaa ha. Wa qad khaaba man dassaa ha.”
“Demi nafsu dan yang menyempurnakannya. Maka kami ilhamkan kepadanya Fujuur dan Taqwa. Maka beruntunglah orang yang membersihkannya, dan celakalah orang yang mengotorinya.”
Hati sangat berbeda dengan hawa nafsu. Al-Ghazali memberikan perumpamaan tentang hati dan nafsu. Bahwa tubuh bagaikan sebuah kerajaan. Tangan dan kaki adalah pekerja ahli, nafsu adalah pemungut pajak, amarah adalah polisi, hati adalah rajanya dan akal adalah perdana mentrinya.
Perumpamaan lain tentang hati dan nafsu, bahwa nafsu bagaikan api, apabila ia kecil, ia akan bermanfaat terapi apabila ia besar, ia akan membakarmu. Sementara hati bagaikan lampu pijar yang berlapis-lapis. Dari lapisan terluar hingga terdalam. Dan cahayanya berada di tempat yang paling dalam. Karenanya untuk mencapai cahaya itu kita perlu menyelam ke dasar hati.
Cahaya terdalam itulah yang di katakan sebagai nurani. Cahaya kebenaran Ilahy yang tersingkap ketika Fir’aun akan tengelam di lautan merah. Hingga ia meronta “Amantu bi rabbi Musa wa Harun” . Cahaya yang telah berjanji Balaa Syahidnaa ketika di tanya Alastu birabbikum?. Cahaya yang pasti ada pada setiap manusia, sekafir apapun ia.
Tetapi manusia telah melalaikan itu semua. Dosa-dosa yang di lakukannya telah menutupi kaca yang melapisi Cahaya itu. Maka kecermelangan cahaya itupun meredup. Bukan karena cahaya itu meredup, tetapi karena terhalang oleh noktah-noktah dosa.
Karenanya, dalam perjalanan mencari kebenaran, mendekatkan diri kepada Tuhan, menyelam ke dasar hati itu sangat diperlukan. Dan untuk mencapai ke sana kita perlu membabat aral yang merintangi jalan.
Banyak pendapat dari para ulama sufi dalam melakukan perjalanan ruhani ini. Mereka menyusun tahapan-tahapan yang beraneka ragam. Tetapi yang paling sederhana adalah jalan tiga tahap: yaitu Takhali, Tahali dan Tajali.
Takhali adalah membersihan diri dari dosa dan penyakit hati. Allah itu maha suci. Ia tak akan menerima kecuali yang suci. Karena itu untuk mendekatinya, kita harus suci. Secara lahiriah adalah dengan mandi dan berwudhu. Tetapi secara bathiniah adalah dengan Ikhlas. “Wa-Nafsin wa maa sawwaahaa. Fa alhaamaha fujuura ha wa taqwa ha. Qad aflaha man dzakkaa ha. Wa qad khaaba man dassaa ha.”
Tahali adalah mengisi diri dengan sifat sifat yang baik. Mengisinya dengan Akhlakul-Karimah. Meningkatkan nafsu sampai ke nafsu Muthmainah.
Tajali adalah perjumpaan dengan Tuhan. Pada tahap ini kita begitu dekat dengan Tuhan seperti api dengan panas, seperti kain dengan kapas dan seperti angin dengan arah.
Seperti yang di sebutkan dalam sebuah Hadits Qudsi: “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada menunaikan apa-apa saja yang Aku fardukan; lalu seorang hamba-Ku lebih mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan nafilah, kecuali Aku mencintainya; Dan jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku telinganya yang dengan itu ia mendengar; jadilah Aku matanya, yang dengan itu ia melihat; menjadi tangannya yang dengan itu ia menggenggam; dan menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku pastilah Kuberikan, dan jika ia meminta izin kepada-Ku pastilah Kukabulkan.”
-*-
Berkata Abu Darwis Al-Khaulani, ia pernah mendengar Khuzaifah Al-Yaman berkata: “Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku menanyakan kepada beliau tentang keburukan lantaran khawatir barangkali hal itu menimpaku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami dahulu berada dalam kondisi jahiliyah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan agama ini. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah keburukan ada ada kebaikan lagi?”. Rasulullah menjawab,” Ya dan padanya ada asap.” Aku bertanya, “Apakah asap itu?” Rasulullah bersabda, “Yaitu sekelompok orang yang memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau akan mengetahui mereka dan engkau akan mengingkari mereka.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan lagi?” Rasul menjawab,” Ya, yaitu orang-orang yang menyeru ke pintu-pintu jahanam, siapa saja yang menanggapi seruannya maka mereka akan mencampakannya ke dalam jahanam.” Aku berkata,” Ya Rasul Allah beritahukan ciri-ciri mereka kepada kami.” Rasulullah bersabda,” mereka sama kulitnya dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya lagi, “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku mengetahui mereka?” Jawab Rasulullah, “Engkau harus komit dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.” Aku bertanya lagi, “Jika tidak ada lagi jama’ah kaum muslimin dan imamnya, bagamana?” Rasulullah bersabda,” Hindarilah dirimu dari semua kelompok, sekalipun kau harus menggigit akar hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar