Motto: Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;
Kemudian tuan bebas memberi saya nama dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf, dan perangai saya adalah mudah,tidak sulit.
Cuma rasa hati sanubari itu tidaklah dapat saya menjualnya;
Katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
Adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?
Sudah agak lama dibicarakan di kalangan masyarakat tentang apa
yang dinamai Natal Bersama. Pemerintah Republik Indonesia di bawah
pimpinan Presiden Suharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama
Indonesia, selalu menganjurkan agar di Indonesia terdapat Kerukunan
Hidup Beragama. Dan kepada Presiden Suharto sendiri pada tanggal 21
September 1975 penulis "Dari Hati ke Hati" ini, yang baru 20 hari
menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia teah menerangkan di hadapan
kurang lebih 30 orang Utusan Ulama yang hadir, bahwa Islam mempunyai
konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah ayat 7 dan
8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Qur'an orang Islam itu hidup rukun dan
damai dengan pemeluk agama lain. Orang Islam disuruh berlaku adil dan
hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan
mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri.
Artinya,
sejak MUI berdiri, dia telah menerima anjuran pemerintah tentang
kerukunan hidup beragama. Dan ini telah berjalan baik.
Tetapi belum ada patokan dan batas-batas tentang mana yang akan kita rukunkan dan mana yang akan kita damaikan.
Maka timbullah soal Natal, lebih jelas lagi tentang "Natal Bersama".
Apa arti bersama?
Bolehkah
orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan
hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya : Bolehkah
orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari Raya
'Idul Fitri dan Idul 'Adha dengan umat Islam?
Kalau direnungi
lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan
memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen
Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN
atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah
berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang
bertiga, atau tiga oknum dalam satu.
Ketika orang merayakan
Natal, dilakukanlah beberapa upacara (rituil) yang di dalam bahasa Islam
disebut ibadat. Membakar lilin, memakan roti yang dianggap bahwa
ketika itu roti tersebut adalah daging Yesus, dan meminum air yang
dianggap sebagai darah Yesus.
Ketika terjadi Munas MUI di
Cipayung 1979 utusan MUI dari Ujung Pandang membawa berita bahwa kaum
Kristen di sana menjelaskan kepada pengikut-pengikutnya bahwa Peringatan
Natal adalah ibadat bagi mereka. Sudah lama hal ini diperbincangkan
dalam kalangan kaum Muslimin. Tidak ada orang yang menyadari kehidupan
beragama yang tidak meragukan halalnya orang Islam turut bersama orang
Kristen menghadiri hari Natal, meskipun tidak ada pula orang Islam yang
menolak anjuran kerukunan hidup beragama, dan orang Kristen pun belum
pernah pergi bersama ber-Hari Raya 'Idul Fitri dan 'Idul Adha ke tanah
lapang atau mesjid. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa mereka
(orang Kristen) tidak hidup rukun dengan orang Islam.
Sebab itu
dapatlah kita fahami bahwa Menteri-menteri Agama sejak Indonesia Merdeka
menyuruhkan saja pegawai-pegawai Tinggi yangberagama Kristen menghadiri
secara resmi hari-hari peribadatan Kristen, Natalnya, Paskahnya dan
lain-lain, pegawai tinggi Katolik untuk menghadiri hari Ibadat Katolik,
dan pegawai tinggi Protestan untuk menghadiri hari ibadat Protestan, dan
demikian pula dengan pegawai tinggi dari kalangan yang beragama Budha.
Dan dengan demikian sekali-kali tidak berkurang rukunnya kita hidup
beragama.
Sejak Juli 1975 MUI berdiri dianjurkan kerukunan hidup
beragama. Pihak Islam menerima anjuran itu dengan baik. Tetapi terus
terang kita katakan bahwa bagaimana batas-batas kerukunan itu, belum
lagi kita perkatakan secara konkrit!
Maka terjadilah di Jawa
Timur, adanya larangan dari Kanwil P dan K menyiarkan satu karangan yang
menerangkan aqidah orang Islam, bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak
diperanakkan. Arti ayat Lam yalid walam yuulad ini dilarang beredar,
dengan alasan bahwa karangan ini berisi satu ayat yang bertentangan
dengan kerukunan hidup beragama.
Sekarang keluar FATWA dari
ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga
oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan
perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Da'wah
Islam (yang berafiliasi dengan Golkar). Dalam pertemuan itu timbul
kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu
adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan
Nabi Isa Almasih 'alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam
logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah
menyatakan persetujuan pada amalan iu, apatah lagi jika turut pula
membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut
aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah
Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat : (Barangsiapa
menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan
mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram?
Maka
bertindaklah "Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang
ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah
kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!"
Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu,Bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh
karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini
didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa
berdosa kalau hal ini didiamkan saja. Yth Menteri Agama mengetahui hal
ini. Beliau meminta supaya hasil fatwa dikirim kepada beliau untuk
menjadi pegangan. Tetapi karena memandang fatwa ini adalah menyinggung
tanggung jawab Majelis Ulama seluruhnya, keputusan tersebut dikirim
kepada cabang-cabang tingkat I (Propinsi) seluruh Indonesia.
Di
sinilah timbul kesalahpahaman diantara Pimpinan Majelis Ulama dengan Yth
Menteri Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas, padahal mestinya
disampaikan kepada Menteri Agama saja.
Surat-surat kabar harian
Jakarta banyak minta agar merekapun diberi peluang turut menyiarkan
Keputusan itu seluas-luasnya, karena ini adalah kepentingan ummat
seumumnya. MUI belum memberikan. Tetapi ada surat kabar mendapat naskah
keputusan itu, lalu menyiarkannya. Tetapi besoknya setelah keputusan
itu termuat, datanglah berita dari kami, yaitu saya sendri dan Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji (H. Burhani Cokrohandoko) dalam kedudukannya
sebagai sekretaris Majelis Ulama menarik kembali fatwa itu dari
peredaran, sekali lagi dari peredaran.
Di sinilah terjadi suatu
reaksi yang hebat. Bertubi-tubi datang pertanyaan kepada diri saya
sendiri, sebagai Ketua Umum dari Majelis Ulama Indonesia, mengapa fatwa
itu dicabut? Apakah saya begitu lemah, kehilangan harga pribadi,
ataukah saya tidak setuju dengan keputusan itu? Apakah bagi saya halal
merayakan Hari Natal atau hari-hari besar agama-agama lain, jika
dirayakan bersama oleh umat Islam?
Di sini saya menjelaskan
pendapat saya, bahwa fatwa Majelis Ulama itu tidaklah hilang kebenaran
dan kesah-annya, meskipun dia dicabut dari peredaran.
Dan saya
sendiri pribadi telah pernah menulis di dalam Majalah yang saya pimpin
"Panji Masyarakat" menyatakan haram bagi orang Islam turut merayakan
Hari Natal bersama orang Kristen, lama sebelum fatwa yang dicabut dari
peredaran itu. Dan di penutup seruan itu saya ajak Kaum Muslimin supaya
bersikap tenang menghadapi soal, demi menjaga kerukunan hidup beragama
dan menjaga kemurnian aqidah!
Tiga harian memuat seruan saya itu, yaitu Berita Buana, Suara Karya dan Kompas. Kepada ketiganya saya ucapkan terimakasih.
Dengan
sabar dan tenang mari kita tilik soal ini. Di dalam membentuk suatu
negara, kita selalu menuju yang lebih baik. Bertambah kita melangkah
akan kelihatan di mana kekurangan yang harus kita perbaiki. Kita musti
melihat soal dari keseluruhan. Dalam mendirikan negara ini kita telah
membuat dua gagasan yang baik dan diantara keduanya ada berkaitan.
1. Kerukunan Hidup Beragama
Semua
menyetujui gagasan ini. Pihak Islam menyetujui karena Islam sendiri
mempunyai konsep yang konkrit dalam hal ini. Tetapi bagaimana
pelaksanaannya? Apakah demi kerukunan orang Islam harus menghadiri
Hari-hari besar agama lain dan turut beribadat, yaitu ibadat, tapi
ibadat yang dikarang-karang sendiri. Orang disuruh rukun, tapi imannya
jadi goncang, sebab perbuatannya itu bertentangan dengan ajaran agamanya
sendiri. Orang yang lemah imannya takut akan menyebut apa yang terasa
dihatinya. Misalnya yang terjadi di Surabaya itu, buku yang menulis
"Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan". Buku itu dilarang
beredar! Sebab merusak kerukunan hidup beragama.
Bagaimana
kalau orang Kristen mengatakan Tuhan Yesus? Bolehkah orangIslam menolak
dan membantah itu? Itupun tentu dilarang juga, sebab merusak kerukunan
hidup beragama! Bahkan kaum Islam tadi dapat pula dituduh tidak
berpartisipasi dalam pembangunan!
2. Majelis Ulama Indonesia.
Majelis
Ulama Indonesia sudah 6 tahun berdiri. Menjadi hiasan bibir di seluruh
Indonesia tentang pentingnya kerjasama Umara dan ulama. Dikatakanlah
bahwa tanggung jawab ulama untuk kebahagiaan tanah air sama dengan
tanggung jawab umara. Ulama adalah ahli-ahli agama dan umara
pemegang-pemegang kekuasaan pemerintah.
Sekarang timbul fatwa
ulama itu tentang boleh atau tidaknya Natal bersama yang di dalamnya
haris ikut orang-orang Islam. Karena ingat akan tugasnya, disamping
melihat kepada pemerintah, diminta atau tidak diminta, maka samalah
pendapat semua ulama itu bahwa turut bersama dalam perayaan hari Natal
itu adalah haram hukumnya atau Kaum Muslimin.
Maka keluarlah keterangan mencabut beredarnya fatwa itu.
Saya
menyatakan pendirian yang tegas : "Melarang peredaran fatwa itu adalah
hak bagi pemerintah. Sebab dia berkuasa! Namun kekuatan fatwa tidaklah
luntur, lantaran larangan beredar. Setiap orang Islam yang memegang
agamanya dengan konsekuen, asal dia tahu, dia wajib menuruti fatwa itu.
Bertemulah di sini hal yang belum kita fikirkan selama ini, yaitu
perlainan penilaian ulama dengan umara, dalam hal yang mengenai aqidah.
Umara merasa punya kekuasaan menyuruh cabut peredaran itu.
Ulama merasa dia bertanggung jawab sebagai ahli-ahli agama meneruskan isi fatwanya.
Dan
ulama pun sangat sadar bahwa dia tidak mempunyai kuasa buat menantang
pencabutan peredaran itu. Sebagai warga negara dia akan patuh kepada
kekuasaan pemerintah. Tetapi kekuasaan pemerintah pun belumlah
mempunyai hak memaksa orang pergi menghadiri upacara agama lain yang
harus dikerjakan bersama. Karena ini adalah kerukunan yang dipaksakan.
Penulis
teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975)
seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya : "Apa sanksinya kalau
pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis
Ulama?"
Saya jawab : "Tidak ada sanksi yang dapat kita
pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma'ruf
nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan
jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi.
Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan
penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan
bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang
sanksi adalah Allah Ta'ala sendiri."
Namun demikian sebagai kita
uraikan di atas tadi, kita adalah menuju yang lebih sempurna. Kita
masih belum terlambat buat menyelidiki, apakah kedudukan umara dan ulama
itu masih diikat oleh rasa ukhuwah Islamiyah? Tegak dalam hak dan
kewajiban masing-masing? Atau Ulama hanya lebai-lebai yang dipanggil
datang, disuruh pergi, ditegah berhenti? Dan kalau rapat akan ditutup
dia bisa dipanggil : "Kiyahi! Baca do'a".
Begitu juga boleh! Mari kita cari ulama-ulama yang semacam itu: "mudah-mudahan masih ada!"
Di
permulaan karangan ini saya salinkan sebuah syair Arab yang maksudnya
begini : "Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa di hati. Setelah
yang terasa itu saya sebut, tuan bebas memberikan beberapa penilaian."
Cuma
satu yang saya tidak bisa, yaitu membenam saja suara hati nurani, diam
saja dalam 1000 bahasa, sehingga pendirian yang sejati tidak dapat
disebut. Ini bisa jadi penyakit! Inilah barangkali yang disebut
ungkapan "Makan hati berulam jantung." Hati sendiri yang dimakan,
jantung sendiri dijadikan ulam.
Rasa hati sanubari itu tidak
dapat dijual dan tidak dapat dibeli. Apa yang terasa di hati, itulah
yang dikeluarkan, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada barangsiapa
yang patut dihormati. (HAMKA).
Jumat, 23 Desember 2016
Sari Roti dan Pangan Lokal
Oleh: Dr. Kintoko, M.Sc., Apt (Peneliti Produk Alami Indonesia)
Viral Sari Roti yang ada di lokasi Aksi 212 menyebabkan si pemilik tdk rela jika Sari Roti diborong untuk sedekah para mujahid 212. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin nyata keberpihakan mereka kepada para pemilik modal besar. Jika dikalkulasi, pembeli terbesar sari roti mestilah umat islam. Dengan kejadian ini, semoga umat islam makin sadar, bahwa selama ini mereka hanya dijadikan sebagai market saja, sedangkan kepentinga mereka tetap kepada si pemilik modal. Oleh sebab itu, sudah saatnya umat islam mandiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan lokal dan tidak bergantung dengan bahan impor. Pasalnya, komponen bahan baku sari roti adalah gandum yang jelas jelas bukan produk asli Indonesia. Belum lagi jika dilihat bahan pengawet yang digunakannya yaitu kalsium propionat dapat menyebabkan penurunan konsentrasi, utamanya pada anak anak yang disebut ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder, yaitu sebuah gangguan pada perkembangan otak yang menyebabkan penderitanya menjadi hiperaktif, impulsif, serta susah memusatkan perhatian.
Saatnya kembali kepada pangan lokal yang tidak kalah dalam kandungan nutrisi apalagi dengan teknologi fortifikasi sehingga membuat kandungan nutrisinya bisa ditingkatkan. Sumber pangan yang layak menjadi unggulan pengganti gandum adalah mocaf, yang bahan bakunya dari singkong. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa mocaf bisa menggantikan gandum yang selama ini telah menjadi kebutuhan pokok kedua setelah beras. Seiring dengan sentimen pemilik sari roti, maka wajib bagi setiap umat islam untuk beralih kepada pangan lokal. Dan Indonesia sangat terkenal dengan deversifikasi umbi umbian, spt talas, uwi, ubi jalar,singkong, suweg, ganyong, kentang, gembili, gembolo dll. Selain pangam lokal itu menyehatkan karena tidak ada bahan tambahan, juga akan meningkatkan kemandirian bangsa dengan tidak bergantung pada impor gandum.
Buka mata, buka telinga, buka hati, saatnya umat islam cerdas dengan melestarikan pangan lokal. Yuuuuuuk !!!!!
Kamis, 08 Desember 2016
Langganan:
Postingan (Atom)