Pendekatan Islam secara epistemology, bukanlah
satu-satunya pendekatan dalam memahami Islam. Pendekatan ini hanya dalam
tataran syariat yang hanya sanggup menguliti Islam saja. Akibatnya dengan
menggunakan tools yang sama, tetap timbul aliran-aliran(mahzab) yang
berbeda-beda.
Tetapi
karena sifat Islam yang syamil dan mutakamil (lengkap dan sempurna) ada cara
pendekatan lain yang mengarah kepada tujuan-tujuan yang sama. Walapun berbeda,
hanya berbeda pada permukaannya. Pendekatan ini bukanlah pendekatan akal
(ra’y) dengan peraturannya yang sangat
ketat. Tetapi pendekatan dengan hati.
Dasar pendekatan ini adalah sebuah hadist nabi
yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ad-Darimi yaitu:
“Istafti qalbaka, al-Bir maa thma’anna
ilaihi n-Nafs wa thma’anna ilaihi l-Qalb. Waa l–ism maa haaka fii n-Nafs wa
taraddad fii Shuduur.”
“Tanyalah hatimu. Kebaikan adalah apa yang
dengannya menjadi tenang nafsu dan hatimu. Dan dosa adalah apa yang membuat
gelisah nafsu dan dadamu.”
Ya! Feel
the experience! Rasakan, jangan pikirkan. Biarkan hatimu bicara, maka ia akan
menuntunmu kepada kebenaran.
Tetapi hati-hatilah. Pada area itu, yang di
namakan Shadr, ada sebuah lagi yang akan mengajak engkau kepada kejahatan.
Ialah Nafs. Al-Hawaa.
“Wa-Nafsin wa maa sawwaahaa. Fa alhaamaha
fujuura ha wa taqwa ha. Qad aflaha man dzakkaa ha. Wa qad khaaba man dassaa
ha.”
“Demi nafsu dan yang menyempurnakannya.
Maka kami ilhamkan kepadanya Fujuur dan Taqwa. Maka beruntunglah orang yang
membersihkannya, dan celakalah orang yang mengotorinya.”
Hati sangat berbeda dengan hawa nafsu. Al-Ghazali
memberikan perumpamaan tentang hati dan nafsu. Bahwa tubuh bagaikan sebuah
kerajaan. Tangan dan kaki adalah pekerja ahli, nafsu adalah pemungut pajak,
amarah adalah polisi, hati adalah rajanya dan akal adalah perdana mentrinya.
Perumpamaan lain tentang hati dan nafsu, bahwa
nafsu bagaikan api, apabila ia kecil, ia akan bermanfaat terapi apabila ia
besar, ia akan membakarmu. Sementara hati bagaikan lampu pijar yang
berlapis-lapis. Dari lapisan terluar hingga terdalam. Dan cahayanya berada di
tempat yang paling dalam. Karenanya untuk mencapai cahaya itu kita perlu
menyelam ke dasar hati.
Cahaya terdalam itulah yang di katakan sebagai
nurani. Cahaya kebenaran Ilahy yang tersingkap ketika Fir’aun akan tengelam di
lautan merah. Hingga ia meronta “Amantu bi rabbi Musa wa Harun” . Cahaya
yang telah berjanji Balaa Syahidnaa ketika di tanya Alastu
birabbikum?. Cahaya yang pasti ada pada setiap manusia, sekafir apapun ia.
Tetapi manusia telah melalaikan itu semua.
Dosa-dosa yang di lakukannya telah menutupi kaca yang melapisi Cahaya itu. Maka
kecermelangan cahaya itupun meredup. Bukan karena cahaya itu meredup, tetapi
karena terhalang oleh noktah-noktah dosa.
Karenanya, dalam perjalanan mencari kebenaran,
mendekatkan diri kepada Tuhan, menyelam ke dasar hati itu sangat diperlukan.
Dan untuk mencapai ke sana kita perlu membabat aral yang merintangi jalan.
Banyak pendapat dari para ulama sufi dalam
melakukan perjalanan ruhani ini. Mereka menyusun tahapan-tahapan yang beraneka
ragam. Tetapi yang paling sederhana adalah jalan tiga tahap: yaitu Takhali,
Tahali dan Tajali.
Takhali adalah membersihan diri dari dosa dan
penyakit hati. Allah itu maha suci. Ia tak akan menerima kecuali yang suci.
Karena itu untuk mendekatinya, kita harus suci. Secara lahiriah adalah dengan
mandi dan berwudhu. Tetapi secara bathiniah adalah dengan Ikhlas. “Wa-Nafsin
wa maa sawwaahaa. Fa alhaamaha fujuura ha wa taqwa ha. Qad aflaha man dzakkaa
ha. Wa qad khaaba man dassaa ha.”
Tahali adalah mengisi diri dengan sifat sifat yang
baik. Mengisinya dengan Akhlakul-Karimah. Meningkatkan nafsu sampai ke nafsu
Muthmainah.
Tajali
adalah perjumpaan dengan Tuhan. Pada tahap ini kita begitu dekat dengan Tuhan
seperti api dengan panas, seperti kain dengan kapas dan seperti angin dengan
arah.
Seperti yang di sebutkan dalam sebuah Hadits
Qudsi: “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
yang lebih Aku sukai daripada menunaikan apa-apa saja yang Aku fardukan; lalu
seorang hamba-Ku lebih mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melaksanakan
nafilah, kecuali Aku mencintainya; Dan jika Aku telah mencintainya, maka
jadilah Aku telinganya yang dengan itu ia mendengar; jadilah Aku matanya, yang
dengan itu ia melihat; menjadi tangannya yang dengan itu ia menggenggam; dan
menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku pastilah
Kuberikan, dan jika ia meminta izin kepada-Ku pastilah Kukabulkan.”
-*-
Berkata Abu Darwis Al-Khaulani, ia pernah mendengar
Khuzaifah Al-Yaman berkata: “Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang
kebaikan, sedangkan aku menanyakan kepada beliau tentang keburukan lantaran
khawatir barangkali hal itu menimpaku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami
dahulu berada dalam kondisi jahiliyah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan
kepada kami kebaikan agama ini. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”
Rasulullah menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah keburukan ada ada
kebaikan lagi?”. Rasulullah menjawab,” Ya dan padanya ada asap.” Aku bertanya,
“Apakah asap itu?” Rasulullah bersabda, “Yaitu sekelompok orang yang memberi
petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau akan mengetahui mereka dan engkau akan
mengingkari mereka.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu ada
keburukan lagi?” Rasul menjawab,” Ya, yaitu orang-orang yang menyeru ke
pintu-pintu jahanam, siapa saja yang menanggapi seruannya maka mereka akan
mencampakannya ke dalam jahanam.” Aku berkata,” Ya Rasul Allah beritahukan
ciri-ciri mereka kepada kami.” Rasulullah bersabda,” mereka sama kulitnya
dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya lagi, “Apakah yang
engkau perintahkan kepadaku jika aku mengetahui mereka?” Jawab Rasulullah,
“Engkau harus komit dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.” Aku bertanya
lagi, “Jika tidak ada lagi jama’ah kaum muslimin dan imamnya, bagamana?”
Rasulullah bersabda,” Hindarilah dirimu dari semua kelompok, sekalipun kau
harus menggigit akar hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar